Aktifitas bergaul dengan tanaman tanaman semakin asyik saja
saya rasakan. Akhir akhir ini saya menikmati pagi dengan mondar mandir menengok
bayi bayi strawberry yang lebih dari sebulan lalu saya semai. Orang lain pada
umumnya menyibukkan diri dengan mengeja koran pagi sembari menyeruput teh hangat
ketika matahari menyingsing. Berhubung saya tak pernah langganan koran pagi
jadi saya harus mencari kesibukan lain yang tak kalah menarik dari orang lain
pada umumnya. Alhasil tanaman tanaman itulah yang menjadi teman ngobrol saya di
sela sela aktifitas lain di pagi hari. Selain berolahraga mata aktifitas saya yang
satu ini juga bermanfaat dalam menyegarkan ingatan akan beberapa ilmu yang
pernah saya dapatkan. Biar tak mudah lupa bagaiamana merawat tanaman tentunya.
Pagi ini saya menyambangi lagi beberapa bayi strawberry yang
kini berumur 41 harian. Rasa senang dan bangga tidak bisa membohongi perasaan
saya. Betul, saya senang bukan main melihat kehidupan lain di sekitaran saya. Yang
lebih membanggakan lagi karena saya turut andil membantu perjalanan kehidupannya.
Ini adalah kali pertama saya menanam strawberry dari biji.
Saya melihat langsung bagaimana proses mereka berjuang
menaklukkan alam untuk menumbuhkan bagian demi bagian tubuhnya. Suatu
kerhormatan tak terkira buat saya. Ibarat seorang ibu sedang mendampingi anak
perempuannya melahirkan anak pertama. Haru, tegang, senang dan bangga campur
aduk jadi satu kayak adonan bakwan (heh). Saya pun merasa demikian (lebay).
Pangkal dari perjalanan ini dimulai sekitar pertengahan
bulan lalu. Bulan 4 dimana saya mendapatkan kado ulang tahun dari suami saya
berupa 2 pack benih jebolan PT. Known You Seed (biasanya dia ngasih berpack
pack benih untuk saya jual lagi, jadi ini kado atau apa sih, gak niat banget). Satu
diantara dua pack benih itu adalah benih strawberry dan yang lain adalah benih
asparagus.
Sebagai ucapan terimakasih sekaligus tanda sayang saya pada
suami, saya segera menyemai benih benih tersebut dalam limbah gelas aq*a. Pikir
saya, segera memanfaatkan (dalam kerangkan positif) sebuah pemberian akan lebih
cepat menambahkan pundi pundi pahala bagi si pemberi (halah, ini mungkin cuma pikiran
tolol saya). Jadilah saya secepat mungkin beraksi dengan menata bekas gelas aq*a
tersebut dalam nampan tua yang saya ambil di dapur. Pada setiap gelas, saya
tuangi dengan beberapa sendok arang sekam yang dicampur dengan remukan akar
pakis. Seketika saya merasa berada pada tahun 1990, dimana saya sedang
berjongkok di halaman rumah dan bermain masak masak dengan anak anak tetangga
saya. Tanah, batang pohon pisang, sulur benalu, juga daun kembang sepatu pura
pura saya jadikan bahan masak masakan. Duh sekarang kemana ya teman teman saya
itu. Miss you all…
Selapas berkutat dengan momentum drama masak masak itu saya
kembali merapikan gelas gelas aq*a yang telah diisi dengan media arang sekam
dan akar pakis. Media harus dibasahi dulu hingga jenuh dengan air bersih. Saya memastikan
agar media basah kuyup kayak tikus kecemplung kolam tetangga (habis lah kau). Barulah
saya teruskan mengisi sebutir biji strawberry pada masing masing gelas aq*ua. Lalu,
kembali saya ulangi adegan mengguyur media dalam gelas aq*a hingga basah kuyup.
Berhari hari saya menunggu benih benih dalam limbah gelas
plastik itu memunculkan tanda tanda kehidupan. Hampir setiap hari saya menengok
barang semenit atau sepuluh menit untuk memastikan keajaiban yang saya
nantikan. Bertubi tubi doa saya panjatkan, beribu ribu support saya bagikan
agar benih benih itu mau tumbuh dan menjadi anak adopsi saya. Saya merengek
pada Tuhan, membanjiri doa doa saya dengan air mata, semata mata agar keinginan
saya terkabul. Tak lain tak bukan agar ditumbuhkanlah bayi bayi strawberry
mungil dari limbah gelas plastik saya.
Bak gurun pasir kering yang akhirnya diterpa hujan, saya senang
sekali saat penantian saya terbayar dengan rasa puas ketika ekor mungil tampak
keluar menembus dinding kulit si benih. Rasa haru campur rasa girang tak
terelakkan. “Ekor keluar…ekor keluar” teriak saya sambil melonjak lonjak, tapi
langsung saya tutup mulut dengan tepukan kedua telapak tangan, melirik tetangga
barangkali ada yang khilaf melihat adegan itu. Buru buru saya taburi ekor ekor
benih yang menyebul ke permukaan media dengan sedikit arang sekam. Saya biarkan
mereka bersembunyi untuk sementara waktu. Tak lupa saya berikan siraman air
sedikit demi sedikit agar kebutuhan jasmani dan rohani mereka terpenuhi.
Beberapa hari setelahnya, benih strawberry itu resmi tumbuh
menjadi bayi strawberry yang mungil. Ekor yang sebelumnya menyembul dari sisi
dinding kulit kini berubah menjadi akar. Sungut sungut yang keluar dari pangkal
ekor berubah menjadi tunas baru. Dua daun semu muncul di ujung tunas itu. Saya makin
girang lantas membawa nampan tua yang berisi limbah gelas plastik dengan bayi
bayi straberry itu ke tembok pagar di luar rumah. Saya biarkan mereka berjemur
sambil menikmati alunan angin yang bernyanyi di antara laimbaian daun nyiur di
kebun tentangga.
Kurang lebih seminggu setelah bayi bayi itu resmi lahir saya
mulai membuat hajatan kecil kecilan dengan menyematkan nama bagi mereka, MINI STROBI.
Ya, saya suka nama itu. Hari itu sekaligus ditandai oleh munculnya salah satu
daun sejati diantara dua daun semu yang lebih dulu muncul. Sebagai hadiahnya,
saya mulai memberinya jus AB mix low ppm (saya pinjam dari bahasa planet agromania).
Dan belasan mini strobi dari 28 benih yang saya tumbuhkan tampak berjajar rapi
menanti suapan jus dari saya. Bangganya…
Hari demi hari berlalu. Bayi mini strobi mulai tumbuh degan
aktifnya. Beberapa daun sejati dengan jari jari yang meruncing kian lincah
menari nari saat diterpa angin. Tangkai jari jari tangan mini strobi memanjang
berwarna merah cerah, menambah semarak berpadu dengan hijaunya daun yang
menjari itu. Mereka tampak sehat wal afiat, pikir saya.
Tapi, seiring dengan tingkat kedewasaannya, bayi bayi itu
mulai memunculkan daya pikat yang dahsyat. Berulangkali tentara tentara
bersayap datang berkunjung. Mereka merayu bayi bayi strobi saya untuk dijadikan
putri kerajaan di istana mereka. Beberapa daun luluh dan ikut bersama tentara
tetara bersayap itu, tanpa mereka tau bahwa sebenarnya mereka tak akan pernah
dijadikan putri kerajaan melainkan menjadi santapan makan siang para tentara
bersayap. Saya terlambat menyelamatkan mereka.
Saya terpaku, meratapi kesedihan. Nasi telah menjadi ubur
ubur, eh bubur ding. Dan bubur pun tak lagi memukau di lidah. Pahit. Sama pahitnya
dengan kenyataan yang saya alami saat ini. Kini belasan strobi itu telah
menyusut menjadi delapan batang saja. Saya dekati mereka. Saya tatapi lekat
lekat. Bicara pada mereka dari hati ke hati, apa yang bisa saya lakukan untuk
membuat mereka hidup tenang dan nyaman hingga mereka benar benar dewasa dan
bisa hidup meliar di sengitnya persaingan belantara ini. Yang saat itu bisa
saya lepaskan dan hidup mandiri dengan beranak pinak, dengan bersanak saudara
atau dengan berhandai taulan.
“Sayangku, manisku, mini strobiku, baik baiklah di
peraduanmu. Aku akan bantu sekuat tenaga untuk menjauhkanmu dari pasukan
tentara bersayap. Kamu harus survive, kamu harus tangguh dan kuat, hingga kamu
buahkan butir butir strawberry yang merah merona suatu saat nanti. I love you
all…”
Mereka berkedip…(eh, mata saya ding yang kelilipan) keh keh keh…
DOK. ARRUM |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar